Pages

Selasa, 17 Maret 2015

MAKALAH PAI MUNAKAHAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BALAKANG
Agama Islam sangat menganjurkan munakahat (pernikahan). Hal ini disebabkan karena menikah merupakan sunnah Rasul yang memberikan berbagai manfaat dalam kehidupan dan termasuk ibadah. Allah berfirman: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar. Ruum (30):21). 
Nikah merupakan perbuatan hukum karena dengan nikah timbul hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak (suami-istri). Hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh menikah,boleh tidak). Namun dalam perkembangan fikihnya seiring zaman, hukum nikah dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, bahkan haram. Sehingga, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang munakahat karena munakahat menyangkut habluminallah dan habluminannas. 
Di dalam melakukan perkawinan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Namun, beberapa kasus yang berkembang sampai saat ini menunjukkkan ada diantaranya pengaplikasian ketentuan hukum munakahat sering kali diabaikan. Seperti dalam contoh kasus nikah sirri, pernikahan dini, pernikahan beda agama dan homoseks. 
Kasus yang akan dianalisis oleh kami yaitu kaus pernikahan dini Syekh Puji. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mempunyai tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (pasal 1). Untuk dapat mewujudkan tujuan suatu perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa pihak yang akan melakukan perkawinan telah siap secara fisik maupun jiwanya. Oleh karena itu didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur seseorang untuk dinyatakan siap dalam melakukan perkawinan. Dalam hal ini tercantum pada pasal 7 ayat 1 yang berbunyi : ”Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”.Di dalam perkawinan usia ini yang dilakukan Syekh Puji terhadap Lutfiana Ulfah, merupakan salah satu contoh pernikahan dibawah umur yang ditentang oleh negara karena dianggap melanggar Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak menyatakan : ”perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”. Sedangkan nyatanya hak hidup Luthfiana Ulfa sebagai anak berusia 12 Tahun tidak mendapatkan hak sepenuhnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai kasus pernikahan dibawah umur yang dilakukan Syekh Puji terhadap Lutfiana Ulfah dan menjelaskan beberapa kasus-kasus perdata yang dijatuhkan kepada Syekh Puji dan beberapa hal yang meliputi kasus ini.
B.     TUJUAN DAN MANFAAT
1.      Memaparkan konsep Munakahat dalam syariat islam dan ketentuan hukumnya.
2.      Menganalisis kasus pernikahan dini dan pengendalian dampaknya.
3.      Menjelaskan berbagai permasalahan kasus-kasus yang terkait masalah pernikahan.

C.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana penjelasan mengenai konsep munakahat dalam Islam dan ketentuan hukumnya?
2.      Bagaimana pengaplikasian hukum munakahat dalam kasus Pernikahan dini yang menyangkut Syekh Puji? Apakah perbuatan yang dilakukan Syekh Puji terhadap Luthfiana Ulfa melawan hukum Undang-undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak ?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI MUNAKAHAT
 
Munakahat merupakan istilah yang berasal dari kata nikah. Nikah menurut bahasa berarti menghimpun. Sedangkan secara terminologis diartikan sebagai akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Menurut syariat Islam, Perkawinan adalah ikatan atau perjanjian antara seorang pria dengan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri menurut ketentuan-ketentuan agama. 
Pada hakikatnya, pernikahan merupakan suatu perjanjian (akad) antara laki-laki dan perempuan dengan sukarela untuk mewujudkan kebahagiaan hidup dengan cara yang diridhai Allah. Hal ini tertuang dalam firman Allah dlam QS. An-Nisa:21 yang artinya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. “ 
Perjanjian ini bukan hanya merupakan ikatan yang kuat namun juga perjanjian yang suci karena mengatasnamakan Allah dalam akad nikahnya.

B.     DASAR HUKUM MUNAKAHAT
1.      QS. Yasiin : 36
¨Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.¨[QS. Yasiin (36):36].


2.      QS. Adz Dzariyaat :49
“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”  [QS. Adz Dzariyaat (51):49].

3.      QS. Ar. Ruum (30):21
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar. Ruum (30):21]

C.     TUJUAN DAN MANFAAT MUNAKAHAT
1.      Untuk Membentengi diri dari perbuatan zina
Agar tidak terjadi perzinaan bagi pasangan yang belum bersami istri, untuk menghindari perbuatan dosa yang dilarang oleh Agama Islam.
2.      Untuk mengikuti Sunnah Rosulullh SAW.
Artinya. Takutlah kepada Allah akan urusan perempuan, sesungguhnya kau ambil mereka dengan amanah Allah dan kamu halalkan mereka dengan kalimat Allah. (H.R. Muslim)
“Nikah itu sunnahku, barangsiapa membenci pernikahan maka ia bukanlah golongan umatku.”
3.      Untuk membentuk keluarga dan menumbuhkan semangat berusaha untuk memperoleh rizki sehingga tercapai ketentraman dan kebahagiaan hidup.
Hubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam ikatan perkawinan untuk membentuk keluarga yang tentram (sakinah) cinta kasih (mawadah) dengan penuh rahmat. Ikatan keluarga merupakan ikatan yang paling kuat yang didasari atas cinta dan kasih sayang diantara kedua pihak. Kewajiban suami untuk menafkahi keluarganya mendorong semangatnya untuk berusaha mencari rizki.

4.      Untuk memperoleh keturunan yang sah
Dengan jalan pernikahan sepasang suami-istri dapat berhubungan secara halal sehingga dapat menghasilkan keturunan yang sah.

D.    HUKUM DAN KETENTUAN MUNAKAHAT
Seperti dijelaskan di awal, hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh menikah,boleh tidak). Namun dalam perkembangan fikihnya seiring zaman, hukum nikah dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, bahkan haram sesuai keadaannya.
1.      Wajib
Bagi orang yang berkeinginan untuk menikahi serta cukup belanja untuk nafkah  keluarga dan dikhawatirkan terjerumus dalam berbuat zina
2.      Sunah
Bagi orang yang berkeinginan untuk menikah serta cukup belanja                                   untuk nafkah keluarga (tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan zina)
3.      Mubah       : Hukum asal penikahan
4.      Makruh      : Bagi yang belum sanggup memberi nafkah pada istrinya.
5.      Haram
Orang yang bertujuan menyakiti isri atau menganiaya baik secara fisik maupun non fisik guna melampiaskan angkara murkanya.

Ketentuan-ketentuan yang mengikat dalam hukum munakahat diantaranaya adalah syarat dan rukun nikah. Rukun nikah yaitu unsur yang harus ada dalam pernikahan dan jika sebagian tidak ada maka pernikahan tidak sah. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang mesti ada dalam pernikahan namun tidak termasuk salah satu bagian dari hakikat perkawinan itu. Adapun rukun nikah terdiri dari 4 unsur yakni:

1)      Calon pengantin laki-laki dan perempuan
Syarat calon pengantin laki-laki adalah sebagai berikut;
ü  Islam
ü  Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
ü  Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
ü  Bukan dalam ihram haji atau umroh
ü  Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
ü  Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
ü  Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri

Syarat calon pengantin perempuan adalah sebagai berikut:
ü  Islam
ü  Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
ü  Bukan seorang banci
ü  Akil Baligh
ü  Bukan dalam ihram haji atau umroh
ü  Tidak dalam iddah
ü  Bukan istri orang

2)      Wali pengantin perempuan
Syarat Wali pengantin perempuan adalah sebagai berikut:
ü  Islam, bukan kafir dan murtad
ü  Lelaki dan bukannya perempuan
ü  Telah pubertas
ü  Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
ü  Bukan dalam ihram haji atau umroh
ü  Tidak fasik
ü  Tidak cacat akal pikiran
ü  Merdeka

Jenis-jenis wali

1)       Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
2)       Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
3)       Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
4)       Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu.
3)      Saksi
Syarat untuk menjadi saksi dalam suatu perkawinan adalah:\
ü  Islam
ü  Sekurang-kurangya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
ü  Berakal
ü  Telah pubertas
ü  Memahami isi lafal ijab dan qobul
ü  Dapat mendengar, melihat dan
ü  berbicara
ü  Adil
ü  Merdeka

4)      Sighat (aqad nikah/ijab dan qobul)
Syarat ijab:
ü  Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
ü  Diucapkan oleh wali atau wakilnya
ü  Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah
ü  Tidak secara taklik

Syarat qobul:
ü  Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
ü  Tidak ada perkataan sindiran
ü  Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya
ü  Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah
ü  Tidak secara taklik
ü  Menyebut nama calon istri
ü  Tidak ditambahkan dengan perkataan lain

E.     STUDI KASUS
Kasus pernikahan dini kami pilih sebagai pokok bahasan pada kesempatan kali ini karena kasus pernikahan masih diperdebatkan dan belum disimpulkan hukumnya dalam sudut pandang berbagai pihak. Salah satu kasus pernikahan dini yang beberapa waktu lalu menjadi kontroversi adalah kasus Syekh Puji yang menikahi Lutfiana Ulfah, seorang gadis berusia 12 tahun.
Dari pengamatan penulis, setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan para tokoh tersebut dalam penolakan terhadap perbuatan Syekh Puji tersebut, yaitu:
1.      Pelanggaran Terhadap UU No.1 Tahun 1974 (Perdata)
Alasan ini diantaranya dikemukakan oleh Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni. Pernyataan itu disampaikan Maftuh seusai membuka Halaqah Pengembangan Pondok Pesantren di Hotel Mercuri, Ancol, Jakarta, Minggu malam (26/10/08). Menteri agama menjelaskan, di Indonesia orang Islam terikat dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagai Muslim dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain sebagai warga negara dia terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU Perkawinan. Karena itu, ia setuju dengan langkah Komnas Perlindungan Anak yang akan menuntut Syekh Puji karena perkawinan yang dia lakukan terhadap anak usia 12 tahun. "Dalam UU Tahun 1974 mengenai Undang-Undang Perkawinan disebutkan batas minimal usia perkawinan", katanya.
Ditinjau dari sisi hukum perdata Republik Indonesia, jelas apa yang dilakukan oleh Syekh Puji telah melanggar Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Diantara yang dilanggar dari undang-undang tersebut adalah:
1)      Dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sedangkan perkawinan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa tidak tercatat di Pengadilan Agama setempat atau nikahnya secara sirri.
2)      Dalam pasal 3 ayat (1) disebutkan: “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”, sedangkan Syekh Puji sudah mempunyai seorang istri ketika menikahi Ulfa.
3)      Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”, sedangkan Lutfiana Ulfa dinikahi oleh Syekh Puji dalam usia 12 tahun.           

2.      Pelanggran Terhadap Hukum Islam
Alasan ini menjadi perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan bahwa menikahi gadis belia tidak diperbolehkan. Peristiwa Rasulullah SAW. menikahi ‘A`isyah yang masih belia menurut mereka adalah kekhususan untuk Nabi SAW.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrun Niam mengatakan: "Perkawinan dia secara hukum fikih memang (sah), tetapi haram karena bisa menimbulkan dhoror (bahaya)". Ia mengatakan, secara syariah apa yang dilakukan Syekh Puji memang tidak dilarang, dengan catatan bocah tersebut sudah mengalami menstruasi. Namun, dari sudut pandang hukum positif yang mengacu pada UU Perkawinan, pernikahan Syekh Puji tidak sah. Selain itu, juga menimbulkan masalah dalam perlindungan anak. Mengenai pernikahan yang dilakukan Syekh Puji dengan pernikahan siri (bawah tangan), menurut Niam, pernikahan itu meski sah secara agama, dapat meniadakan hak-hak perdata pihak perempuan.
Dari sini dapat dilihat, bahwa alasan Dr. Asrun Niam mengatakan tidak bolehnya menikahi gadis belia ataupun nikah sirri bukan karena dilarang agama secara syar’i, namun karena rawan menimbulkan dhoror (bahaya). Hal senada juga diungkapkan oleh Kiai Husein Muhammad.
Banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dini ini terjadi, antara lain adalah faktor ekonomi dan sosial budaya. Banyak orang mengaitkan masalah pernikahan dini ini dengan agama, seperti yang dilakukan Syekh Puji yang berargumen bahwa Islam membenarkan pernikahan dini sebagaimana yang dilkaukan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah.
Dalam kitab fiqh klasik atau ’kitab kuning’, menyebut pernikahan dini dengan nikah ash-shaghir, dan sebaliknya menyebut pernikahan di usia dewasa dengan istilah nikah al-kabir, atau bisa juga disebut az-zawaj al-mubakkir.
Pada dasarnya, mayoritas Ulama’ mengesahkan pernikahan di bawah umur. Karena baligh (dewasa) tidak masuk dalam syarat sah pernikahan. Argumen mereka adalah :
a.       Surat Ath-Thalaq ayat 4 yang berbicara mengenai iddah, masa tunggu untuk tidak menikah lagi setelah terjadinya perceraian, menyebutkan :
”Bagi mereka yang telah menopouse (tidak haid), iddahnya adalah 3 bulan. Demikian juga bagi mereka yang belum haid”.
Dengan demikian, perempuan yang belum haid (di bawah umur), bisa melangsungkan pernikahan. Karena iddah hanya bisa dilakukan oleh perempuan yang telah menikah dan telah bercerai dengan suaminya.
b.      Pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah. Sebagaimana Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, Muslim, abu Dawud dan Nasa’i dari Aisyah. Aisyah berkata :
”Nabi menikahiku saat aku berusia 6 tahun dan Nabi hidup bersamaku saat aku berusia 9 tahun
Pernikahan di bawah umur, menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali, erat kaitannya dengan hak ijbar (hak paksa seorang wali/orang tua). Orang tua dari seorang perempuan, ayah atau kakek bisa mengawinkan anak perempuannya yang maish gadis (baik sudah dewasa atau masih di bawah umur) tanpa melalui persetujuan anak perempuan tersebut, kecuali anak perempuannya berstatus janda, maka harus dengan persetujuan anaknya yang berstatus janda tersebut. Berbeda dengan pendapat di atas, Imam Hanafi menyebutkan, hak ijbar (hak memaksa untuk menikah) yang dimiliki orang tua, hanyalah terhadap anak yang masih di bawah umur.
Hak ijbar tersebut tidak serta merta bisa dilakukan orang tua terhadap anaknya, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain :
1.      tidak ada permusuhan anak dengan orang tuanya.
2.      tidak ada permusuhan antara anak dengan calon suaminya.
3.      calon suami harus se kufu’ (setara dalam segala hal).
4.      calon suami mampu memberi mas kawin yang pantas.
Berbeda pandangan dengan pendapat di atas, menurut Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham dan Utsman Al-Batti menyatakan bahwa: Anak-anak di bawah umur (laki-laki maupun perempuan) tidak sah dinikahkan. Mereka hanya boleh dinikahkan bila telah baligh dan harus dengan persetujuan mereka yang diutarakan secara eksplisit. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 6 yang menyatakan :
”Dan Ujilah anak-anak tersebut sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurutmu, mereka telah cerdas, maka serahkan pada mereka harta mereka”.
Menurut mereka, apabila anak di bawah umur boleh menikah, apa jadinya maksud ayat ini. Selain itu, mereka (anak di bawah umur tersebut) belum membutuhkan pernikahan. Ibnu Syubrumah menyatakan :
”Ayah tidak boleh menikahkan anak perempuanya yang masih kecil, kecuali apabila anaknya telah baligh dan anak tersebut memberikan izin (persetujuannya)”.
Sedangkan, mengenai pernikahan Siti Aisyah dengan Nabi, menurut Ibnu syubrumah adalah merupakan pengecualian atau sebuah kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW sendiri, dan tidak diberlakukan bagi umatnya.
Pendapat ini, kemudian diikuti oleh beberapa Negara di dunia, seperti Syiria dengan UU Perkawinan Syiria dan Indonesia dengan UU No.1 tahun 1974 yang mensyaratkan usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun bagi perempuan yang ingin menikah. Namun, ketentuan ini mendapat kelonggaran, bagi yang belum mencapai usia tersebut (yakni usia 15 sampai 13 tahun), untuk mengajukan dispensasi nikah, apabila mereka benar-benar menginginkannya dan akan terjadi hal-hal buruk apabila mereka tidak dinikahkan.
3.      Pelanggaran Terhadap UU Perlindungan Anak (Pidana)
Alasan ini diantaranya dikemukakan oleh Ketua Komnas Pelindungan Anak Seto Mulyadi dan Rudi Satrio Mukantardjo, ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI). Ia juga menuding pernikahan Syekh Puji merupakan bentuk perdagangan anak dan bisa mengarah kepada eksploitasi dan kekerasan ekonomi. Untuk itu Syekh Puji bisa dijerat Pasal 74 - 90 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selain melanggar UU Perlindungan Anak, Syekh Puji juga bisa dijerat Pasal 288 KUHP karena menikahi anak di bawah umur. Dalam pasal tersebut dinyatakan, barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Dari sudut hukum pidana Syekh puji dituduh melanggar pasal 74 - 90 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal-pasal tersebut berkenaan dengan Komisi Perlindungan Anak. Namun penulis kurang jelas, pasal mana tegasnya yang dilanggar Syekh Puji? kalau menurut tudingan Ketua Komnas PA pernikahan Syekh Puji merupakan bentuk perdagangan anak dan bisa mengarah kepada eksploitasi dan kekerasan ekonomi, ini sebuah tuduhan yang serius. Hal ini perlu dibuktikan. Namun kalau tidak terbukti bisa jadi justru Seto Mulyadi yang berpeluang dituntut balik.
Kalau yang dimaksud tersebut adalah pasal 78 UU No. 23 tahun 2002 yang berbunyi: “Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”, lalu bagaimana dengan para artis cilik Indonesia semisal Baim? Kenapa tidak ada yang mempermasalahkan?
Rudi Satrio Mukantardjo, ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI) juga menyatakan bahwa Syekh Puji juga bisa dijerat Pasal 288 KUHP karena menikahi anak di bawah umur. Dalam pasal tersebut dinyatakan, barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Bila dicermati teks dari pasal tersebut, Puji baru bisa dipidana “apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka”. Artinya Syekh Puji tidak bisa seketika dikenakan tindak pidana semata karena pernikahannya dengan gadis belia. Selain itu, pengertian “belum waktunya untuk dikawin” masih relatif. Apakah Ulfa belum waktunya untuk dikawin? Karena dalam Islam, ketika seseorang sudah akil baligh maka sudah dibebani tanggung jawab, sedangkan urusan nikah erat kaitannya dengan urusan tanggung jawab.








BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kasus ini menunjukkan bahwa undang-undang perdata kita, khususnya masalah perkawinan, masih rawan pelanggaran. Ini mungkin karena undang-undang ini belum cukup memenuhi aspirasi masyarakat. Selain itu mungkin karena tidak ada bingkai pidana yang menjamin aturan ini akan dipatuhi.
Kasus ini menunjukan betapa besarnya pengaruh media dalam proses hukum. Kasus nikah sirri bukan hanya sekali ini. Kasus poligami juga bukan hal baru. Tidak sedikit kiyai yang berpoligami. Kasus nikah dini juga rasanya bukan kasus baru. Namun kenapa kasus nikah sirri Syekh Puji dengan Ulfa di usia dini ini jadi begitu mencuat? Walaupun sebenarnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik dalam bingkai hukum yang ada, namun seolah semua pihak begitu ngotot agar pernikahan ini jangan sampai diteruskan. Bahkan masalah berkembang dari kasus perdata menjadi kasus pidana juga. Ini tidak lepas dari peran media yang terlanjur menghukumi. Semestinya seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh opini yang dibentuk media dan tidak semestinya tokoh masyarakat turut membantu terbentuknya opini yang tidak semestinya.
Pembahasan ini menunjukkan bahwa Syekh Puji tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Ada undang-undang yang dilanggarnya (perdata), namun sebenarnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik. Sementara Pasal-pasal pidana yang ditujukan kepadanya terkesan sangat dipaksakan.






B.     SARAN
Dengan adanya pemberitaan kasus ini kami selaku penulis berharap agar pemerintah lebih menegakkan peraturan mengenai Perkawinan dan Perlindungan anak sehingga tidak terjadi lagi kasus yang sama sehingga tidak adanya lagi kasus pelanggaran yang terjadi dalam pernikahan. Dan sebaiknya, mengingat pernikahan dini cenderung lebih banyak akibat hukum negatifnya, lebih baik dihindari untuk mengantisipasi adanya kasus-kasus yang tidak diinginkan sebagai konsekuensi pernikahan dini.















DAFTAR PUSTAKA
Elmunbarok, Zaim, dkk (2013) Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Semarang: Unnes Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar