Pages

Rabu, 18 Maret 2015

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA PELAKSANAAN PANCASILA DARI MASA KE MASA




MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
PELAKSANAAN PANCASILA DARI MASA KE MASA



DISUSUN OLEH:
1.      IVA ADIYA SAFITRI                   ( 4101414114 )
2.      MUHAMMAD HAFNI RIZAL      ( 4101414126 )
3.      SITI SYAFA’ATUN                      ( 4301414074 )
4.      INDAH KURNIASIH                    ( 7211414132 )
5.      ROSIANA MUJAHIDAH              ( 7211414137 )
6.      DIPO LUKMANUL A.                  ( 8111410023 )
ROMBEL MKU PENDIDIKAN PANCASILA : 100


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LatarBelakang
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara,dan pemersatu bangsa Indonesia. Kompleksitas bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, adat  istiadat kebiasaan budaya, serta warna  kulit mutlak harus dipersatukan.Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila begitu berpengaruh karena mendasari setiap segi kehidupan masyarakat di Indonesia.
Pancasila, dalam konteks masyarakat bangsa Indonesia yang beranekaragam dan dengan wilayah yang luas, harus dijabarkan untuk menjadi ideology kebangsaan yang menjadi kerangka berpikir (the main of idea), kerangka bertindak (the main of action), dan dasar hukum (basic law) bagi segenap elemen bangsa. Artinya Pancasila menjadi dasar yang ampuh bagi rezim dalam mengambi lsegala bentuk keputusan. Rakyat diharuskan tunduk pada legitimasi yang digunakan dengan melalui pengatasnamaan Pancasila.
Sebagai dasar Negara dan pedoman hidup bangsa Indonesia, Pancasila wajib dipahami secara benar.Oleh karena itu, kita harus mengetahui bagaimana implementasi atau pelaksanaan Pancasila dari masa awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, masa reformasi hingga masa kini.

B.     RumusanMasalah
1.      Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa awal kemerdekaan?
2.      Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa orde lama?
3.      Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa orde baru?
4.      Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa reformasi?
5.      Bagaimana pelaksanaan Pancasila pada masa kini?

 

BAB II
PEMBAHASAN

PELAKSANAAN PANCASILA DARI MASA KE MASA
A.     MASA AWAL KEMERDEKAAN
Dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 oleh PPKI merupakan modal berharga bagi terselenggarakannya roda pemerintahan negara RI. Paling tidak, bangsa Indonesia telah memiliki ketentuan-ketentuan yang pasti dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Namun, sebelum semua alat perlengkapan negara tersusun, bangsa Indonesia dihadapkan persoalan eksternal yaitu kehadiran tentara Sekutu dan NICA ke wilayah Indonesia.sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 29 September 1945, sekutu bersama orang-orang NICA dengan mengatasnamakan Palang Merah Internasional mendarat di Surabaya untuk mengurus orang-orang Belanda bekas tawanan tentara Jepang. Bagi bangsa dan Pemerintah Indonesia kehadiran mereka sebenarnya bukan masalah. Artinya, bangsa dan Pemerintah Indonesia dapat menerima, bahkan membantunya apabila diperlukan. Namun  dalam perkembangannya, orang-orang NICA terus berusaha   menguasai wilayah Indonesia (Nederlands Indies) secara de facto. Itulah sebabnya Wolhoff dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” mengatakan bahwa sejak 17 Agustus 1945 dalam sebagian wilayah negara Koninkrijk de Nederlander (wilayah Hindia Belanda) berkembanglah dua macam pemerintah, yaitu sentral dan lokal.
a.       Pemerintah Republik Indonesia memprtahankan hak kedaulatannya atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, baik tehdap dunia internasionalberdasarka hak mutlak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
b.      Pemerintah Nederlandshe, suatu persekutuan hukum otonom dalam ikatan negara Koninkrijk der Nederlander yang kedaulatannya atas wilayah Hindia Belanda diakui secara de jure dunia internasional berdasarkan traktat-traktat dan perjanjian-perjanjian internasional yang lain berusaha menguasai kembali.
Begitulah Konstelasi politik sesudah ProklamasiKemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, membawa konsekuensi bagi bangsa dan negara Indonesia untuk berjuang dalam rangka mempertahankan dan menguasai secara de facto atas seluruh wilayah Indonesia.
Bangsa Indonesia dengan segala  kemampuan dan keyakinan yang ada siap mengusir penjajah yang hendak kembali menginjak-injak kemerdekaan itu. Dalam masa-masa 1945-1949 segala perhatian bangsa dan negara Indonesia benar-benar tercurahkan untuk menuangkan perang kemerdekaan. Oleh karena itu, sistem pemerintah dan kelembagaan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan. Waktu itu masih  terus diberlakukan ketentuan. Aturan Peralihan pasal IV UUD 1945 yang mengatakan bahwa: Sebelum  Majelis Permusyawaratan  Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.
Namun karena kuatnya tekanan yang dilakukan orang-orang NICA, maka dalam rangka mengoptimalkan semua kekuatan bangsa Wakil Presiden Drs. Mocammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat ini pada dasarnya berisi perubahan kedudukan Komite Nasional Indonesia sebagai pembantu Presiaden menjadi lembaga legislatif. Perubahan ini sebenarnya bukan persoalan karena memiliki tujuan yang baik. Apakah maklumat tersebut dapat dikatakan sebagai penyimpangan UUD 1945?
Inilah persoalan yang menarik untuk dikaji. Di satu sisi, setiap orang berhak menyatakan bahwa Maklumat Wakil Presiden No. X  merupakan penyimpangan dan sisi lain, orang juga berhak menyatakan sebagai bukan penyimpangan kaena bisa dianggap sebagai amandemen. Lebih-lebih, jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada waktu itu belum ada lembaga legislatif.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat ini dikeluarkan atas dasar semakin meluasnya desakan dari masyarakat agar pemerintah memberi kebebasan masyarakat untuk membentuk partai politik. Kebijaksanaan ini mengandung arti positif, terutama dalam rangka memanfaatkan seluruh kekuatan bangsa. Bukan partai politik merupakan organisasi yang paling mampu mengorganisasikan para pengikutnya secara baik.
Sejak saat itu, lahirlah partai-partai politik di wilayah Indonesia dalam jumlah yang sangat besar. Lahirnya partai politik ini membawa perkembangan baru yaitu munculnya desakan agar sistem Presidentil Kabinet diganti dengan sistem Parlementer Kabinet. Untuk itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem Kabinet Presidentil menjadi Kabinet Parlementer. Perubahan ini berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasioanal Indonesia Pusat pada tanggal 11 Nopember 1945. Perubahan ini nyata-nyata merupakan penyimpangan konstitusional.
Sejak lahirnya Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945, maka di Indonesia berlangsung sistem  pertanggungjawaban Menteri-Menteri kepada parlemen. Ini berarti sejak saat itu kepala pemerintah (eksekutif) diegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, Perdana Menteri dan para Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, tidak bertanggungjawab kepada Presiden seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Sementara mengusir orang-orang NICA belum juga berhasil. Bagi Bangsa Indonesia hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak yang harus dibela dan dipertahankan, serta harus diperjuangkan dengan segala konsekuensinya sebagai negara yang telah merdeka dan berdaulat. Sikap seperti ini terbukti dengan munculnya perlawanan-perlawanan rakyat terhadap tentara Inggris dan NICA di setiap daerah yang mereka datangi. Pertempuran terjadi di mana-mana, seperti Ambarawa, Surabaya, Bndung, dan sebagainya.
Munculnya perlawanan yang sengit dari rakyat Indonesia, memaksa Belanda untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Indonesia. Perundingan-perundingan yang dilakukan berhasil menghasilkan perjanjian-perjanjian, meskipun oleh Belanda sering dilanggar dan dikhianati. Sementara, pemerintah Indonesia (PM Syahrir maupun PM Amir Syarifuddin) tidak mampu memaksakan isi perjanjian kepada Belanda sehingga akhirnya kedua Kepala Pemerintahan tidak mendapat kepercayaan dari rakyat. Akhirnya, Kepala Pemerintahan diambil alih oleh Wakil Presiden, Drs. Mochammad Hatta. Dengan sendirinya, sistem kabinet Presidentil.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, namun Bangsa Indonesia terpaksa harus menerima berdirinya negara yang tidak sesuai dengan cita-cita Proklaamasi 17 Agustus 1945 dan tidak sesuai kehendak UUD 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa berubah menjadi Negara Indonesia Serikat (Republik Indonesia Serikat) berdasarkan Konstitusi RIS.
B.     MASA ORDE LAMA
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan,sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia,demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.
C.     MASA ORDE BARU
MPR RI pada Sidang Umumnya tahun 1978 menerbitkan Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978, tentangPedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tertanggal 22 Maret 1978. Pasal 5 dari Ketetapan tersebut menyebutkan bahwa:”Presiden sebagai Mandataris MPR atau sebagai Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengusahakan agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.” Maka dalam waktu yang singkat Presiden mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) tersebut.
Implementasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)
Setelah diadakan koordinasi antara lembaga-lembaga yang diharapkan untuk menangani implementasi P-4, pada tanggal 3 Agustus 1978, sekitar lima bulan setelah terbit TAP II/MPR/1978, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden No.10 tahun 1978, tentang Penataran Pegawai Republik Indonesia mengenai Hasil-hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1978. Adapun pertimbangannya mengapa Pegawai Republik Indonesia didahulukan dalam memahami dan mengamalkan Pancasila, karena Pegawai Republik Indonesia adalah aparat Pemerintah dan Negara yang harus lebih dahulu untuk mengamalkan Pancasila dalam melaksanakan tugas, utamanya dalam melayani masyarakat.
Isi instruksi tersebut adalah agar Menteri-menteri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga Nondepartemen, Gubernur Bank Indonesia, dan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan penataran bagi pegawai dalam lingkungan masing-masing mengenai hasil-hasil Sidang Umum MPR RI tahun 1978, utamanya mengenai P-4. Pada lampiran dari Instruksi Presiden No.10 tahun 1978, pada pasal 4 disebutkan terdapat lima tingkat penataran yakni penataran tingkat (a) Nasional, (b) Instansi Pusat, (c) Propinsi, (d) Kabupaten/Kotamadya, (e) Kecamatan.
Penataran tersebut menghasilkan tiga buku, yakni (1) Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (2) Undang-Undang Dasar 1945, dan (3) Garis-garis Besar Haluan Negara, merupakan materi pelengkap yang dipergunakan dalam penataran P-4.Adapun materi pokok adalah (1) TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (2) UUD 1945, dan TAP MPR RI tentang Garis garis Besar Haluan Negara.Bahan tersebut merupakan tiga hal saling kait mengkait dalam pelaksanaan pembangunan bangsa. Berhubungan dengan pentingnya tiga bahan tersebut Presiden Soeharto, pada waktu membuka penataran calon Penatar tingkat Nasional di Istana Bogor pada tanggal 1 Oktober 1978, menegaskan bahwa:
Pancasila adalah sumber dari segala gagasan kita mengenai wujud masyarakat yang kita anggap baik, yang menjamin kesentosaan kita semua, yang mampu memberi kesejahteraan lahir batin bagi kita semua.Pancasila lah yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu Undang-Undang Dasar 1945 tidak akan kita fahami atau mungkin kita laksanakan secara keliru jika kita tidak memahami Pancasila. Selanjutnya apa yang diamanatkan oleh Pancasila dan apa yang ditunjukkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 harus tercermin dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, yang merupakan strategi pembangunan kita dalam setiap tahap. Karena itu untuk melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan, maka kita semua harus memahami dan menghayati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri.
Penataran P-4 dan Indoktrinasi
Penyelenggaraan penataran P-4 adalah merupakan realisasi Ketetapan MPR RI, jadi merealisasikan kehendak rakyat. Pelaksanaan penataran P-4 diselenggarakan sesuai dengan tata cara demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Jadi kalau Presiden kemudian menetapkan dan mengatur pelaksanaan penataran P-4 tiada lain adalah mengemban amanat MPR RI.
Namun ada pula yang menuduh bahwa penyelenggaraannya terlalu indoktrinatif, bahkan ada yang mempersoalkan, apakah masalah moral warganegara itu menjadi tanggung jawab negara?Sejauh mana negara memiliki kewenangan dalam mengatur moral warganegaranya?Dapatkah negara memaksakan sesuatu nilai tertentu pada warganegaranya?Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sangat mendasar, bahkan mungkin sangat filosofis.Apakah sebenarnya indoktrinasi itu?
Indoktrinasi adalah suatu tindakan atau proses untuk mentranformasikan ajaran atau prinsip tertentu. Setiap proses pendidikan dan pengajaran pasti mengandung tindakan indoktrinasi, yakni untuk mentranformasikan prinsip-prinsip atau nilai-nilai tertentu. Dalam kehidupan bersama pasti diperlukan adanya common denominator, adanya common platform, yang dipergunakan sebagai dasar terjadinya kehidupan bersama. Secara sadar ataupun tidak sadar terjadilah proses indoktrinasi. Apabila tranformasi tersebut berlangsung secara alami, maka tidak dikatakan indoktrinasi, tetapi apabila berlangsung dalam proses paksaan maka lalu dikatakan indoktrinasi. Jadi sebenarnya suatu proses transformasi prinsip dan nilai tergantung pada pendekatan dan metoda yang diterapkan, sehingga dikatogarikan sebagai indoktrinasi dan bukan.
D.     MASA REFORMASI
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang berkaitan dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan.Para elite politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan kepentingan politik.Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan.Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, nampak sekali bahwa bangsa Indonesia sudah berada di ambang krisis degradasi moral dan ancaman disintegrasi.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial.Masyarakat kecil benar-benar menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Kondisi ini diperparah dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta harga bahan kebutuhan pokok lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat dengan menyediakan dana sosial belum dapat dikatakan efektif karena masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan pelaku politik seakan tidak peduli den bergaming akan jeritan kemanusiaan tersebut.
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam memperbaiki kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar pada pandangan hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum dikelola secara optimal; (3) adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).








BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Pancasila sebagai warisan bangsa dapat digolongkan sebagai budaya sebab kompleksitas masyarakat Indonesia pada dasarnya dibangun selaras paham-paham dalam Pancasila.Dalam budaya Pancasila, dianut dan dikembangkan sikap kekeluargaan yang dilandasi oleh semangat kebersamaan, kesediaan untuk saling mengingatkan, saling mengerti dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Budaya ini sudah terbukti mampu membawa bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, menggalang persatuan dan kesatuan, dan mendorong pembangunan.Keberhasilantersebut dapat terwujud sebab potensi konflik akibat perbedaan budaya tidak bisa hidup dalam Pancasila. Sebaliknya, budaya Pancasila itu terus menerus diperbaharui lewat pengalaman hidup bernegara dan bermasyarakat sehingga ia bisa mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai mosaik budaya etnis yang ada di bumi Nusantara. Sungguh suatu interaksi budaya yang dua arah dan dinamis.
Memahami peranan Pancasila sejak era kemerdekaan hingga kini, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama, dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan, dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara konstitusional selama ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusifsehingga kredibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis. Hal ini diperparah oleh minimal dua hal, ialah: pertama, penerapan Pancasila yang dilepaskan dari prinsip-prinsip dasar filosofinya sebagai dasar negara; dan kedua, krisis multi dimensional yang melanda bangsa Indonesia yang diikuti oleh fenomena disintegrasi bangsa.

B.     Saran

















DAFTAR PUSTAKA

Soegito,A.T, dkk. 2013. Pendidikan Pancasila.Semarang: Pusat Pengembangan MKU-MKDK UNNES, 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar